بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Ini hikam yang kedua dari Syaikh Ibni ‘Athā’illāh:
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
Jadi di sini ada beberapa yang saya mau bahas:
Pertama beliau utamakan irādatuka. Irādah dalam sufi itu beda dengan sisi cabang agama yang lain. Yang dimaksud dengan irodah disini adalah punya keinginan untuk dekat kepada Allah. Punya keinginan untuk membersihkan diri dari nafsu supaya bisa dekat kepada Allah. Itu yang sebenarnya irādah.
Tapi kalau ada niat yang lain muncul walaupun sebenarnya pada hakikatnya dia ingin (begitu) dekat kepada Allah sebenarnya. Tapi salah. Contohnya di sini: dimulai dengan Ingin tajrīd. Yaitu ingin memisahkan diri dari urusan dunia. Supaya bisa dekat kepada Allah. Jadi asalnya keinginan ini baik sebenarnya. Tapi kalau Allah sudah menetapkan dia untuk berusaha (asbāb), supaya dia bisa membiayai dirinya dan keluarganya semua. Jadi dia tidak boleh tajrīd di saat itu karena dia mempunyai tanggung jawab.
Tapi kalau Allah tempatkan dia dalam posisi tajrīd (tidak perlu berusaha) dan dia tetap ingin berusaha. Itu pertanda dia sudah turun dari sebuat himmah yang sangat tinggi. Padahal Allah telah memberi himmah yang tinggi. Tapi karena dia ingin berusaha dan mengabaikan posisinya. Jadi menjadikan dia turun dari posisi yang tinggi. Padahal Allah telah menempatkannya pada posisi yang tinggi.
Contohnya sederhana saja: Antara guru dan murid. Guru, Allah tempatkan supaya dia bisa mengajar. Jadi dia tidak berusaha supaya bisa maksimal untuk mengajar. Tapi kalau murid, Allah tempatkan diantaranya. Dia harus luangkan waktu untuk belajar tetapi dia harus terus berusaha.
Sebagaimana ceritanya tentang perdebatan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Kalau Imam Malik berpegang pada tidak perlu berusaha, karena itulah posisinya. Dan Imam Syafi’i itu bersikeras untuk tetap berusaha. Karena itu juga posisinya.
Jadi ceritanya ketika mereka masing-masing tidak mau mengalah. Dan ketika Imam Syafi’i pergi beliau melalui suatu tempat melihat orang yang sedang memanen anggur. Belai teringat bahwa gurunya suka anggur. Jadi beliau mulai bekerja di sana untuk mendapatkan anggur. Setelah dia mendapatkan anggur, dia senang sekali. Karena dia pikir dia bisa membuktikan kepada gurunya, kalau dia harus berusaha supaya mendapatkan ini (anggur) yang disukai gurunya. Ketika dihadiahkan kepada gurunya. Gurunya hanya menikmati satu per satu dan langsung tersenyum mengatakan: “Ini bukti bahwa tidak perlu berusaha”. Saya menginginkan anggur. Sekarang saya menikmatinya tanpa perlu berusaha. Karena beliau di posisi tajrīd dan Imam Syafi’i di posisi asbāb.
Dua-duanya benar. Tetapi jangan Imam Syafi’i mengharapkan tajrīd dan jangan Imam Malik mengharapkan asbāb. Inilah yang sebenarnya. Jadi kalau Allah tempatkan di posisi harus tajrīd, maka tajrīd-lah. Kalau Allah tempatkan kita dalam posisi asbāb (harus mencari pencaharian) maka bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakan itu.
InsyaAllah inilah yang dimaksudkan oleh Syaikh Ibni ‘Athā’illāh. Jadi ada kaitan dengan irādah. Ada kaitan dengan keinginan. Tapi keinginan kita harus kita tempatkan pada tempat yang benar. Dan begitulah bisa terwujud keinginan kita yang benar. Dan di saat itulah kita menjadi murid yang sebenarnya.
Bismillah.
Mursyid Pemberi Taushiyah
Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi
Syaikh Husain asy-Syadzili lahir di Parit Buntar, Perak Malaysia pada 23 Mei 1960. Beliau memeluk agama Islam pada usia 17 tahun setelah melalui berbagai pertanyaan-pertanyaan teologis yang menggelisahkan jiwanya. Sebelum memeluk agama Islam, beliau pernah mempelajari berbagai kitab agama yang … → Baca selengkapnya “Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi”