بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Sebagian kesempurnaan seorang wali adalah bagaimana dia bermuamalah dengan makhluk. Makhluk di sini umumnya adalah manusia atau orang lain, tetapi bisa juga diartikan dengan binatang, tumbuhan dan lain-lain.
Sifat pertama yang sangat kentara, sangat menonjol adalah sifat ḥalīm atau ḥilm yaitu sebuah istilah yang mencakup kasih sayang, pemaaf, sopan santun, lemah lembut. Semua itu tercakup dalam perkataan ḥilm atau ḥalīm. Dalam bahasa Melayu disebut kehaliman. Sifat kehaliman ini adalah ketika seseorang bertindak, bersikap atau mengucapkan sesuatu; penuh dengan sifat tersebut.
Halim ini adalah sifat yang sangat sesuai dengan fitrah manusia dan setiap orang menginginkan itu. Orang yang tidak baik pun menginginkan orang lain bersikap halim terhadap mereka. Orang yang jahat dan pencuri pun memerlukan sifat ini. Itu adalah fitrah manusia. Para wali mewujudkan hal itu terhadap orang lain dan terhadap binatang pun begitu. Seperti cerita Nabi s.a.w. tidak mau membangunkan seekor kucing yang tidur di lengan baju beliau. Beliau lebih memilih melepaskan lengan bajunya sehingga tidak membangunkan kucing. Sampai seperti itu. Para wali juga paham kenapa Allah mengampuni seorang pelacur yang memberikan air minum pada seekor anjing yang kehausan. Sangat penting untuk memperlakukan segala makhluk itu dengan baik.
Selanjutnya diikuti sifat pemaaf, al-‘afwu. Para wali suka memaafkan. Mereka begitu paham tentang orang lain. Mereka selalu memaafkan. Seperti Nabi s.a.w. ketika diperlakukan dengan begitu parah sehingga ketika beliau sujud, orang musyrikin yang membenci beliau menempatkan usus binatang yang baru disembelih di punggung beliau. Saat putri beliau datang Sayyidatina Fathimah menurunkannya dan menangis minta Nabi mendoakan kehancuran orang yang melakukan hal tersebut. Nabi hanya menjawab, “Saya diutus untuk membawa rahmat bukan untuk melaknat. Dan saya hanya akan mendoakan mereka supaya mereka menerima Islam ataupun sekurang-kurangnya anak cucu mereka yang menerima Islam.” Sejarah kemudian mencatat, mayoritas anak cucu mereka masuk Islam. Malah jadi sangat kuat membela Islam, contohnya seperti Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal. Sejarah mencatat bahwa Sifat pemaafnya Nabi s.a.w. mengajak banyak musuh-musuh Islam menerima Islam.
Berikutnya mereka laksanakan semua itu dengan penuh tawadhu’, tidak sombong. Penuh dengan kerendahan hati. Mereka tahu bahwa mereka masih punya kekurangan. Jadi, mereka tidak pernah bersikap sombong dan meninggikan diri terhadap yang lain. Mereka selalu merendahkan diri. Mereka membantu dengan memberikan nasehat dengan sifat tawadhu’.
Para wali juga mempunyai sifat yang sangat luar biasa, yaitu sakha’ (dermawan). Karena mereka selalu tahu bahwa Allah itu Maha Kaya. Allah memiliki segala sesuatu. Mereka senantiasa membantu yang lain. Senantiasa memberi apa yang mereka miliki walau pun yang mereka miliki hanya sedikit. Tetapi mereka tahu Allah memiliki segalanya. Ketika mereka memberi, mereka tahu bahwa Allah akan memberi lebih banyak. Jadi, mereka selalu membantu yang memerlukan. Mereka selalu memberi makan, memberi pakaian, memberi semua pada yang lain. Ini juga merupakan sifat yang sangat luar biasa.
Setelah itu, mereka juga punya sifat yang sangat luar biasa, yaitu syafaqah. Syafaqah ini maksudnya adalah belas kasihan. Mereka selalu memaafkan orang-orang berdosa. Memaafkan orang-orang yang kurang berilmu dan orang-orang yang kurang dalam segala sesuatunya. Mereka selalu membantu dengan penuh kasih sayang. Bukan seperti mereka yang selalu marah-marah. Bahkan ingin mnghapus dan menghilangkan mereka. Tidak, Wali Allah itu selalu ingin merangkul. Ingin mengajak, ingin memberikan pengertian dan ingin memerikan kasih sayang. Supaya yang diajak jadi mengerti bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mereka juga memberi nasehat terus menerus pada yang lain. Mengajak pada Allah. Mereka tidak pernah mengajak pada diri mereka. Tidak mengajak kepada suatu sistem. Wali Allah selalu hanya mengajak kepada Allah saja. Mereka tidak meminta upah apa pun. Mereka tidak memerlukan semua itu. Karena mereka sudah punya Allah yang memiliki segala sesuatu. Mereka memberi nasehat dengan cuma-cuma. Tidak pernah terfikir oleh mereka untuk mendapatkan suatu balasan. Atau sebagai ganti apa yang mereka lakukan sebagai balasan.
Terakhir para Wali juga mempunyai sifat yang penuh dengan al-‘adl wal inshāf, yaitu penuh keadilan. Mereka memperlakukan semuanya dengan sama. Mereka tidak pernah membedakan warna kulit, bahasa, atau perbedaan apa saja. Mereka memperlakukan semuanya sama saja. Semuanya berhak menjadi wali Allah. Semua berhak mendapatkan nasehat dan untuk mendapatkan kasih sayang dari mereka. Mereka memperlakukan yang lain itu secara adil dan penuh keinsafan. Keinsafan di sini maksudnya mereka tahu bahwa diri mereka dan orang lain semuanya penuh kekurangan. Penuh dengan kelemahan dan penuh dengan ketidaktahuan. Seperti yang diucapkan Nabi ‘Īsā a.s.: “Ya Allah, maafkan mereka, karena mereka lemah. Kalau Engkau mengazab mereka sesungguhnya mereka itu hamba Engkau.” Itu penuh dengan keadilan dan keinsafan. Nabi ‘Īsā paham benar. Inilah sifat-sifat Wali Allah yang sangat luar biasa.
Begitulah cara para Wali Allah memperlakukan makhluk. Begitu juga mereka tidak menzalimi makhluk apapun. Tidak memperlakukan makhluk secara kasar. Selalu dengan lemah lembut. Selalu memberi makan bagi yang memerlukan. Sehingga semut pun mereka jaga, supaya tidak sampai teraniaya. Pohon-pohon dan batu-batu pun mereka jaga dan tidak mereka ganggu, jika tidak ada alasan. Mereka membiarkan pohon-pohon dan membiarkan batu-batu pada tempat mereka. Tidak mengganggu sama sekali. Apalagi dengan iseng menendang batu, mematahkan ranting dan daun tanpa alasan. Mereka tidak akan melakukan itu. Mereka juga tahu itu semua juga ciptaan Allah. Mereka sangat berhati-hati karena mereka tahu semua itu akan mencatat tindakan mereka. Sesuai dengan hadits Nabi s.aw.: “Di Hari Kiamat Allah akan mendatangkan mereka kalau ada pengaduan. Si Fulan dan si Anu mengkatapel saya tanpa alasan kata burung-burung. Si Fulan dan Si Anu pindahkan saya tanpa alasan kata batu-batu. Si Fulan dan si Anu memetik daun-daun saya tanpa alasan kata pohon-pohon.” Semua akan Allah datangkan untuk mengadu. Termasuk pakaian kita, termasuk sepatu kita, termasuk kursi kita. Para wali memperlakukan semuanya dengan baik karena mereka tahu semua itu akan menjadi saksi di Hari Kiamat nanti.
Bismillah.
Mursyid Pemberi Taushiyah
Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi
Syaikh Husain asy-Syadzili lahir di Parit Buntar, Perak Malaysia pada 23 Mei 1960. Beliau memeluk agama Islam pada usia 17 tahun setelah melalui berbagai pertanyaan-pertanyaan teologis yang menggelisahkan jiwanya. Sebelum memeluk agama Islam, beliau pernah mempelajari berbagai kitab agama yang … → Baca selengkapnya “Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi”