بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kesempurnaan seorang wali dapat terlihat dari 4 sisi, yaitu;
- Bagaimana dia bermuamalah atau bertransaksi dengan Allah.
- Bagaimana dia bermuamalah atau bertransaksi dengan dirinya sendiri.
- Bagaimana dia bermuamalah atau bertransaksi dengan dengan orang lain.
- Bagaimana dia bermuamalah atau bertransaksi dengan dunia.
Ke-empat hal ini menyempurnakan sifat atau kondisi seorang wali. Selama ini kita hanya bicara tentang bagaimana dia bermuamalah atau bertransaksi dengan Allah saja atau dirinya saja. Seorang sufi yang benar atau seorang wali yang benar, dia akan memperlakukan semuanya dengan benar. Memperlakukan Allah, dirinya, orang lain atau segala sesuatu yang lain, yaitu dunia dengan benar.
Kita mulai dengan tanda-tanda bagaimana seoarang wali itu bermuamalah dengan Allah, yaitu:
Pertama, ia memenuhi hak-hak Allah, yaitu menjalankan semua perintah Allah. Adā’u ḥaqqihi, yaitu hak Allah. Seperti perintah shalat, dia menjalankannya. Seluruh syariat itu perintah Allah akan dia jalankan karena dia memenuhi hak Allah.
Kedua, dia akan menjaga yang sebaliknya yaitu ḥifzhu ḥaddihi. Had itu adalah larangan, yaitu batas-batas. Semua larangan Allah itu dia jaga. Itu tanda wali Allah yang benar. Dia tidak akan melanggar jika Allah melarang. Hal itu sangat penting dalam perjalanan rohani. Dasar permulaan perjalanan rohani seorang wali itu adalah menjaga larangan ini. Itu sebabnya sering tidak bisa menjadi seorang wali jika dia tidak menjauhkan diri dari memakan sesuatu yang haram. Menjaga sesuatu yang haram itu, baik benda itu sendiri (‘ain–nya), ataupun cara mendapatkannya. Tidak dengan cara yang haram. Juga takarannya dia akan jaga. Tidak melampaui batas. Itu semua dia jalankan sesuai dengan larangan Allah. Sesudah itu baru bisa mulai menempuh perjalanan ruhani.
Permulaan perjalanan seorang wali adalah menjaga dari larangan Allah.
Ketiga, dia bersyukur atas pemberian Allah, syukru ‘athā’ih, yaitu dia tahu semua itu pemberian dari Allah. Sehingga bisa menjaga yang dua sebelumnya itupun pemberian dari Allah. Yaitu, menunaikan hak Allah dan menjaga dirinya dari batas-batas yang Allah tentukan. Dia selalu bersyukur. Dia tahu segala apa yang dia dapat, semua itu dari Allah. Tanda syukur itu adalah melaksanakannya dan berbagi dengan yang lain. Jika diberi ilmu dia akan berbagi dengan yang lain. Jika diberi harta juga akan berbagi dengan yang lain. Itu tanda syukurnya.
Keempat, ar-ridhā bi qadhā’ihi. Dia rela, dia terima, dia senang dengan ketentuan Allah. Karena dia tahu apa saja yang terjadi itu ketentuan Allah. Kalau dia bisa melakukan sesuatu itu ketentuan Allah. Kalau dia tidak bisa melakukan sesuatu, itu juga ketentuan Allah. Dia punya teman itu ketentuan Allah. Dia punya musuh juga ketentuan Allah. Dia senang dengan semua itu dan dia tahu semua itu ketentuan Allah. Dia akan rela. Tidak akan marah-marah. Kesal pun tidak ada dengan ketentuan Allah. Karena dia tahu itu semua dari Allah.
Kelima, dia akan sabar dengan ujian-ujian. Karena dia tahu Allah sudah menentukan begitu. Sebagaimana firman Allah: “Apakah kalian mengatakan kalian beriman dan Kami tidak akan menguji kalian?” Pasti Allah akan menguji. Ketika terjadinya ujian, dia akan bersabar. Dia sabar di saat terkena ujian. Kebanyakan orang bersabar karena sudah tidak ada jalan lain. Dia akan melawan terus sampai ketika akhirnya tidak ada jalan lain baru mengatakan dia sabar. Sebenarnya itu bukan sabar. Nabi mengatakan: “Ash-shabru fī awwali shadmah”. Kesabaran itu hanya pada pukulan pertama. Dan Allah membedakan sabar biasa dan “ash-shabru ḥīn-al-ba’s”, ketika terjadinya suatu keburukan. Itu baru terlihat orang yang sabar. Itulah Shābirīn.
Keenam, ta’zhīmu ḥurmatih, dia mengagungkan kehormatan Allah. Dia begitu menjaga kehormatan Allah sampai dia tidak bertindak atau mengucapkan sesuatu yang akan menjatuhkan kehormatan Allah. Dia sendiri sangat-sangat berhati-hati. Tidak mengatakan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu sehingga martabat Allah atau kehormatan Allah jatuh. Dengan begitu dia sudah mulai mempunyai kesadaran bahwa Allah adalah satu-satunya yang harus dia agungkan. Sehingga tindakannya, ucapannya tidak menjatuhkan keagungan Allah.
Ketujuh, asy-Syauqu ilaih, dia akan rindu kepada Allah. Karena awal perjalanan ruhani itu belum langsung kepada Allah. Jadi dia merindukan Allah. Begitu rindunya dia melaksanakan semua itu dengan baik. Saking karena rindu kepada Allah. Awalnya dia niat hanya semata-mata untuk Allah tetapi akhirnya dia hanya ingin bertemu dengan Allah. Begitu rindunya kepada Allah. In syā Allah semua ini akan membawa dia kepada cinta dan kasih sayang Allah.
Bismillah.
Mursyid Pemberi Taushiyah
Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi
Syaikh Husain asy-Syadzili lahir di Parit Buntar, Perak Malaysia pada 23 Mei 1960. Beliau memeluk agama Islam pada usia 17 tahun setelah melalui berbagai pertanyaan-pertanyaan teologis yang menggelisahkan jiwanya. Sebelum memeluk agama Islam, beliau pernah mempelajari berbagai kitab agama yang … → Baca selengkapnya “Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi”