بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Transaksi atau muamalah seorang wali dengan dirinya sendiri atau nafsunya sendiri.
Pertama-tama, dia harus paham benar dan takut kepada nafsunya sendiri. Karena nafsu selalu akan mengajak kepada keburukan. “Inna-an-nafsa la ammāratun bis-sū’, illa mā raḥima rabbi.” (اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ) (Suratu Yusuf [12]: 53) Jadi, dia sangat waspada, sangat hati-hati terhadap nafsunya sendiri. Seperti Nabi begitu takutnya terhadap nafsunya sendiri mengatakan: “Ya Allah, jangan serahkan diriku pada nafsuku sekedip mata pun.” “Allahumma lā takilnī ilā nafsī tharfata ‘ainī abadan.” (اللَّهُمَّ لَا تَكِلْنِي إلى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا). Begitu takutnya beliau terhadap nafsunya sendiri sehingga meminta Allah jangan menyerahkan dirinya pada nafsunya sendiri.
Rasa takut terhadap hawa nafsu ini yang membuat setiap wali itu tidak terpengaruh oleh hawa nafsunya. Karena dia tahu bahwa hawa nafsu itu akan berfungsi seperti Tuhan. Seperti apa yang Allah firmankan: “Tidakkah kalian melihat bahwa manusia itu sudah mengambil hawa nafsunya menjadi tuhannya.” (أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ) (Surah al-Furqan [25]: 43) Para wali paham benar akan hal itu.
Berikutnya, saking takut dan paham akan hawa nafsunya maka dia bersungguh-sungguh jihad menentang hawa nafsunya. Karena dia tahu hawa nafsunya itulah yang paling memusuhinya. Nabi pernah bersabda: “Musuh kalian yang paling kuat menentang kalian itu adalah nafsu kalian.” Dari sini muncullah suatu istilah: “jihād-ul-akbar” (jihad yang paling besar), yaitu menentang nafsu. Nafsu itu yang paling kuat menentang. Nafsu itu ada dalam diri kita.
Berikutnya dia tahu nafsunya selalu akan membahayakan dirinya. Jadi, dia “ḥaml-ul-adzā” (حَمْلُ الأَذَى) (dia menanggung itu), dia tidak mau bereaksi. Dia tahu setiap kali munculnya nafsu, pasti akan merusak sesuatu, pasti akan membahayakan, pasti akan membuatnya menderita. Semua hal itu termasuk dalam pengertian “al-adzā” (الأَذَى), yaitu yang akan menyakitinya. Juga nafsu-nafsu orang lain. Jadi dia menahan dan menanggung semua itu. Dia tidak akan membiarkan nafsu itu merusak dirinya.
Kemudian dia melakukan riyādhah berdasarkan ilmu dan berdasarkan bimbingan seserorang yang sudah tahu cara menangani nafsunya. Dia menjalani riyādhah, yaitu latihan menahan nafsu. Nanti akan kita bahas lebih mendalam tentang itu.
Kemudian, dia mencari atau menuntut kebenaran (ash-Shidq) dan ikhlas. Karena dengan cara jujur terhadap dirinya dan dengan cara mengikhlaskan setiap tindakannya, setiap amalnya dan ibadahnya akan terhindar dari keterlibatan hawa nafsu. Ikhlas itu khalāsh. Yaitu, tidak ada nafsu terlibat. Seperti Nabi pernah bersabda: “Tangan kanan melakukan suatu kebaikan, tangan kiri pun tidak tahu.” Berarti tidak membiarkan nafsunya terlibat. Jika tangan kirinya tahu, berarti nafsunya sudah terlibat. Kemudian, dia mengeluarkan segala apa yang dia cintai selain Allah dari hatinya. Maksudnya di sini mengeluarkan nafsunya supaya nafsunya tidak terlibat. Tidak ada keterlibatan dalam mencintai yang lain lebih dari Allah. Tidak ada kecintaan kepada yang lain kecuali kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Berarti, dia hanya mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Dikeluarkan semuanya dari hatinya. Tidak akan ada apa pun yang tetap di hatinya kecuali cinta kepada Allah dan apa yang dicintai Allah. Semua yang dicintai Allah itu dalam bentuk ketaatan, bentuk perasaan dan dalam bentuk apa pun, semua itu hanya akan dia cintai kalau Allah mencintai. Dia mencintai orang-orang yang bertaubat karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Dia mencintai orang-orang yang berbuat baik karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik dan seterusnya.
Selanjutnya, dia akan rabathah, yaitu berpusat, menumpukan semua perhatian pada satu pusat. Karena ribath itu adalah pusat suatu tempat. Suatu kota itu ribath itu berarti tempat berkumpulnya para tentara. Wali itu memusatkan perhatiannya pada faqr. Faqr di sini artinya dia tahu dia tidak memiliki apa-apa pun. Allah Yang Maha Memiliki segala sesuatu. Sebagaimana firman Allah: “Yā ayyuh-an-nās, antum-ul-fuqarā’u ilallāh. Wallāhu Ghaniyyun Ḥamīd” “Wahai manusia, kalian itu faqir kepada Allah dan Allah Maha Kaya Maha Terpuji.” (يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ) (Surah al-Fāthir [35]: 15). Inilah pengertian faqīr yang sebenarnya. Itu sebabnya para sufi dinamakan fuqarā’. Mereka inilah faqīr yang benar-benar memahami bahwa mereka tidak memiliki apa pun. Hanya Allah saja. Dan Allah memiliki segala sesuatu termasuk nafsunya.
Ketika dia memahami ini, maka dia akan bertransaksi dengan nafsunya dengan sangat benar. Dia takut terhadap intrik-intrik nafsu dan berhati-hati dalam berurusan dengan nafsu. Dia bersungguh-sungguh untuk melawan ajakan nafsu. Dia akan dapat bertahan dan menanggung ajakan nafsu yang tidak baik serta hasil perilaku nafsu yang tidak baik. Dia akan laksanakan latihan supaya bisa terlatih untuk menjauhkan diri dari nafsunya. Tidak mendengarkan ajakan nafsu. Serta menggantinya dengan mencari kebenaran dan keikhlasan. Supaya tidak ada nafsu yang terlibat. Dia akan mengeluarkan semua rasa cinta terhadap segala sesuatu selain Allah dan hanya akan mencintai Allah dan apa yang Allah cintai. Tetap menyadari bahwa nafsu tidak memiliki apa pun. Dia tahu bahwa Allah memiliki segala sesuatu. Allah itu pemiliknya. Jadi, kalau dia tidak bisa berurusan dengan nafsu, dia langsung memanggil, meminta pemilik nafsunya untuk mengurus nafsunya.
Bismillah
Mursyid Pemberi Taushiyah
Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi
Syaikh Husain asy-Syadzili lahir di Parit Buntar, Perak Malaysia pada 23 Mei 1960. Beliau memeluk agama Islam pada usia 17 tahun setelah melalui berbagai pertanyaan-pertanyaan teologis yang menggelisahkan jiwanya. Sebelum memeluk agama Islam, beliau pernah mempelajari berbagai kitab agama yang … → Baca selengkapnya “Syaikh Husain asy-Syadzili ad-Darqawi”